Beranda | Artikel
Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid (Bag. 4)
Minggu, 24 Februari 2019

Baca pembahasan sebelumnya Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid (Bag. 3)

Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat

Jika memaknai kalimat laa ilaaha illallah dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah pemaknaan yang keliru atau tidak tepat, lalu bagaimanakah makna laa ilaaha illallah yang benar?

Salah satu penjelasan menarik tentang makna yang benar dari kalimat “laa ilaaha illallah” yang penulis temui adalah penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah di kitab beliau, Ma’aarijul Qobul. Berikut ini penjelasan beliau rahimahullah yang penulis sampaikan secara ringkas.

Makna kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna meniadakan seluruh sesembahan selain Allah Ta’ala. Maka tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah Ta’ala (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq (yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi.

Baca Juga: Meraih Kejayaan Islam Dengan Tauhid

Jika ada yang mengatakan bahwa makna “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah”, maka hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa seluruh sesembahan, baik yang benar (haq) maupun yang salah (bathil) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrikin, baik matahari, bulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang shalih, dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya berarti telah bertauhid. Sehingga hal ini –wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini, pent.)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul dan berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab, dan menentang/mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah mendukung dan memuji seluruh orang kafir. Karena segala makhluk yang mereka sembah tidak lain adalah Allah Ta’ala. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zhalim dan orang-orang yang menentang ini.

Jika kita sudah memahami demikian, maka kita tidak boleh memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Kecuali apabila kita menambahkan kalimat “dengan benar” [atau “yang berhak disembah”] pada makna tersebut, maka hal ini tidaklah mengapa. Jadi tafsir (makna) “laa ilaha illallah” yang tepat menjadi “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.” (Lihat Ma’aarijul Qabuul, 2: 516)

Berdasarkan penjelasan Syaikh Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau dari dua sisi.

Baca Juga: Tugas Para Dai Adalah Mendakwahkan Tauhid

Pertama,

Kenyataan memang menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahan-sesembahan selain Allah Ta’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah Ta’ala semata.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah (sesembahan) yang batil.(QS. Luqman [30]: 30)

Adapun sesembahan selain Allah, sesungguhnya hanyalah sesembahan yang berdasarkan persangkaan orang-orang musyrik mereka saja. Pada hakikatnya, sesembahan mereka itu tidak berhak menyandang sifat uluhiyyah sedikit pun. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا

“Katakanlah, ’Jika ada sesembahan-sesembahan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya sesembahan-sesembahan itu mencari jalan menuju Dzat Yang Mempunyai ‘Arsy.’” (QS. Al-Isra’ [17]: 42)

Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan orang musyrik bukanlah ilah yang hakiki, akan tetapi ilah menurut klaim dan persangkaan mereka semata. Allah Ta’ala tetap menyebut sesembahan orang musyrik tersebut dengan sebutan “ilah” karena realita memang menunjukkan bahwa mereka itu disembah atau diibadahi. Dan setiap yang disembah disebut sebagai ilah. Akan tetapi, sesembahan mereka itu adalah ilah (sesembahan) yang batil. (Lihat Syarh Al-Ushuul min ‘Ilmi Al-Ushuul, hal. 13 karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Baca Juga: Hati Tentram Dengan Tauhid

Kedua,

Dari sisi bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illallah” memang ada satu kata yang dibuang, yaitu “haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid tersebut sebenarnya adalah (لا اله حق إلا الله) “laa ilaaha haqqun illallah” yang berarti “tidak ada sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain Allah”. Hal ini memang agak sulit dipahami, terutama bagi orang-orang yang belum mengenal kaidah dalam bahasa Arab, sehingga tidak kami bahas lebih detil dalam tulisan ini. (Lihat Haqiiqatu Laa Ilaaha Illallah, hal. 108)

Kalau ada yang bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka jawabannya adalah karena kaidah bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya. Meskipun kata “haqqun” dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah memahami bahwa ada kata yang dibuang (yaitu “haqqun”) dengan hanya mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid, hal. 77-78)

Pembuangan kata ini juga biasa kita temukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, ada seseorang bertanya, “Kamu ada di mana sekarang?” Kemudian orang yang ditanya menjawab, “Di pasar.” Jawaban tersebut mengandung kata yang dibuang, jawaban lengkap seharusnya, “Saya ada di pasar.”

Setelah mengetahui makna yang benar dari kalimat “laa ilaaha illallah”, maka perlu diketahui bahwa kalimat tersebut memiliki dua rukun.

  1. Rukun yang pertama adalah nafi (meniadakan), yang terkandung dalam kalimat “laa ilaaha”. Maksudnya, meniadakan segala sesembahan selain Allah Ta’ala baik sesembahan yang berupa malaikat, para Nabi atau Rasul, orang-orang shalih, atau segala bentuk sesembahan lainnya.
  2. Rukun yang ke dua adalah itsbat (menetapkan), yang terkandung dalam kalimat “illallah”. Maksudnya, menetapkan sifat uluhiyyah tersebut hanya untuk Allah Ta’ala semata. Maka Allah-lah satu-satunya sesembahan yang haq, dan segala sesembahan selain Allah adalah sesembahan yang batil. (Lihat Haqiiqatu Laa Ilaaha Illallah, hal. 108-109)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

تحقيق شهادة أن لا إله إلا الله فإنها تنفي عن قلبه إلهية ما سوى الحق وتثبت في قلبه إلهية الحق فيكون نافيا إلهية كل شيء من المخلوقات مثبتا لإلهية رب العالمين رب الأرض والسماوات

”Mewujudkan kalimat syahadat ‘laa ilaaha illallah’ berarti meniadakan dari dalam hatinya peribadatan kepada selain Al-Haq (yaitu Allah, pent.) dan menetapkan di dalam hatinya peribadatan kepada Al-Haq. Sehingga dia menafikan peribadatan kepada seluruh makhluk dan menetapkan peribadatan kepada Rabb alam semesta, Rabb langit dan bumi.” (Al-‘Ubuudiyyah, 1: 47)

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Jogjakarta, 1 Jumadil Awwal 1440/ 7 Januari 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

🔍 Perpecahan Umat Islam, Ayat Tentang Malas, Suami Istri Muslim, Meratapi, Gambar Pohon Vector


Artikel asli: https://muslim.or.id/45166-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-4.html